novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Sebagai pencipta lagu dan pemain musik, Papa bukanlah sosok yang malas. Beliau berusaha sekuatnya untuk menafkahi istri dan anak-anak. Bermain musik hingga menjelang pagi di tempat-tempat hiburan, sementara menjual lagu ke produser rekaman begitu sulitnya, hingga bisa dibilang keluarga kami nyaris tidak memiliki pemasukan tetap setiap bulannya.

Saya kembali membayangkan perubahan drastis gadis bernama Liauw Min Hoa dalam mengikuti kata hatinya.

Tetapi pernahkah saya melihat sedikit saja Mami mengeluh kepada kami, anak-anaknya? Tidak!

Pernahkah sedikit saja terbersit perasaan menyesal telah menikah dengan Papa? Tidak!

Pernahkah Mami termenung-menung lama bernostalgia dengan masa lalunya sebagai gadis cantik dari keluarga amat berada? Tidak.

Di mata kami, Mami selalu terlihat bersemangat dan tidak pernah putus asa.

Kami tiga kakak beradik tumbuh remaja dan mencatat perjuangan Mami yang luar biasa. Sebagai ibu dari tiga orang anak, Mami mendidik kami dengan tegas tapi juga hangat. Keluarga kami memang minim secara materi, tetapi Mami memastikan anak-anak berpakaian pantas, memiliki peralatan sekolah juga seluruh buku pelajaran. Tidak jarang beliau membantu mencari tambahan penghasilan dengan menjual sprei, baju dan apa saja yang diambilnya dari seorang teman.

Saya tidak mengatakan Mami berhasil mendidik anak-anaknya hingga jadi ‘orang’. Sebab secara materi dan prestasi anak-anak Mami rasanya biasa saja. Malah masih banyak yang belum bisa kami berikan kepada orang tua, terutama Mami sebagai rasa hormat dan cinta kami pada perjuangan beliau.

Tetapi tidak satu dua teman lama Mami yang masih menghubunginya hingga saat ini (Mami memang sangat menjaga silaturahirn, ini satu lagi nilai penting yang saya catat namun belum bisa contoh dengan baik), mengomentari Mami sebagai ibu yang beruntung karena berhasil mendidik anak-anaknya hingga semua mapan.

Ah, inikah jawaban bagi pertanyaan saya, ketika mendengar kisah hidup mereka yang berhasil padahal terlahir dari keluarga rniskin?Benarkah itu berpulang pada bagaimana sosok ibu dalam keluarga membesarkan, memberi energi positif dan menempatkan pendidikan sebagai prioritas bagi anak-anak nya, apapun kendalanya?

Meski harus berhutang ke kanan kiri, meski harus bolak balik ke sekolah meminta keringanan, meski harus berjuang hingga kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki?

Pendidikan anak itu nomor satu!
Situasi berbeda yang saya temui ketika menemani wartawan dari harian Boston, mencoba menelusuri sindikat penjualan bayi. Kami mewawancarai seorang ibu yang pada awalnya dicurigai polisi telah menjual 3 anak kandungnya.

Belakangan terkuak bahwa perempuan itu telah dibodohi hingga mau ‘menitipkan’ bayinya ke seorang ibu yang kemudian menjualnya ke pasangan asing secara ilegal.

Sebagai imbalan (yang sebetulnya nyaris tak ada) maka biaya melahirkan ditanggung dan ada ha
diah berupa beras lima kilogram, minyak tanah, gula dan susu beberapa kaleng yang diserahkan kepada keluarga yang melahirkan.

Selama wawancara, saya perhatikan perempuan yang tampak pucat karena baru saja melahirkan anak ke tujuhnya. Sang suami yang tidak memiliki pekerjaan, duduk di lantai dekat istrinya. Sementara ketiga anak mereka yang lain tampak bermain di luar.

Dari manakah sumber pendapatan keluarga?

Jawabannya tertumpu pada sosok anak lelaki mereka yang baru berusia 12 tahun,yang telah berhenti sekolah sejak lama. Setiap hari anak lelaki ini pergi ke pasar menjual plastik atau membantu ibu-ibu, membawakan barang belanjaan mereka yang berat.

“Sebulan bisa dapat tiga ratus ribu, mbak.”

Hati saya miris membayangkan kehidupan bocah berusia 12 tahun yang putus sekolah, juga adik-adiknya, yang bisa jadi tumbuh besar kemudian menapaki siklus kemiskinan yang sama, yang telah dilakoni orang tuanya tanpa punya keterampilan untuk mengubah nasib.

Yang paling menyedihkan adalah saya tidak menemukan buku kecuali buku tulis di rumah mereka. Saya tahu pasti karena pada kedatangan kedua dan ketiga, saya mengikuti Jonathan, fotografer dari tabloid asing tersebut masuk hingga ke sudut-sudut rumah.

Saya ingat Mami dan kehidupan kami yang sama miskinnya dulu. Di luar hal-hal lain yang membedakan, saya merasa beruntung karena Papa terus berusaha. Karena Mami tidak menyerah dan mengedepankan pendidikan.

Semua anak-anak Mami bisa membaca sebelum sekolah dasar, meski tidak melalui pendidikan TK. Semua anakanak Mami memiliki waktu belajar yang cukup. Untuk itu Mami tidak pernah merepotkan anak anak dengan tugas-tugas dapur, beliau mengerjakan semuanya sendiri, meski di kemudian hari ini membuat anak-anak perempuan Mami tidak piawai untuk urusan masak-memasak.
Ahh, kembali pada ibunda yang saya cintai. Seolah ujian tidak cukup menghampiri beliau, di usia ke tujuh saya divonis dokter menderita gegar otak, jantung dan paru-paru hingga membutuhkan pengobatan yang intensif bertahun-tahun dengan biaya yang tidak sedikit.

Runtuhkah pertahanan Mami? Tidak!

Memang Mami sering menangis di hadapan kami, tapi selalu menangisi orang lain.

Anak cacat yang dilihatnya dalam perjalanan ke pasar.

Pengemis tua yang nyaris tak bisa lagi berjalan, ibu-ibu yang berpakaian lusuh dan tanpa alas kaki yang mencegatnya meminta tambahan ongkos. Kami bahkan biasa melihat Mami menangis ketika dari layar tivi yang hitam putih, terpampang peristiwa pembongkaran pedagang kaki lima yang dikejar-kejar aparat, atau berita kebakaran dan musibah lain di tanah air.

“Kasihan…” ucap beliau dengan isak yang keras seolah salah satu keluarga dekat kami baru saja meninggal dunia.

Ibunda kami tak pernah kehilangan syukur, harapan juga doa.

Doa dengan caranya yang lugu, sebab Papa dengan kesibukannya mencari nafkah tidak cukup punya waktu untuk membimbing Mami menjadi muslimah dengan pemahaman agama yang lebih. Tetapi rasa syukur Mami rasanya melampaui pemahamannya yang sederhana tentang Islam.

Setelah dua anaknya menikah dan mulai bisa memberi, berapa pun pemberian kami, rasa terima kasih Mami jauh lebih besar.

“Terima kasih ya, sayang. Mami doakan semoga kamu sekeluarga sehat dan diberikan kelapangan rejeki.”

“Terima kasih banyak, Rani… membantu sekali.”

“Terima kasih banyak Evy…” “Eron juga sekarang sudah bisa bantu, Mami. Alhamdulillah anak-anak Mami sayang sama Mami.”

Padahal pemberian kami tidak seberapa.

Padahal Mami layak mendapatkan lebih dari itu!

Ketika saya mendengar kisah dari teman-teman yang sudah menikah dan kerap ‘direcoki’ orang tua, saya nyaris tidak menemukan itu. Mami tidak pernah meminta kepada anak-anaknya.

Mami masih sosok perempuan yang sama yang membesarkan kami tanpa keluh kesah. Yang amat ‘tahu diri’ dan berusaha keras tidak merepotkan an ak-anaknya setelah mereka menikah.

“Kalian kan punya keluarga sendiri sekarang, harus hemat-hemat, nggak usah kasih Mami apa-apa.”

Kalaupun sangat terdesak, Mami akan memilih meminjam ke teman-temannya ketimbang mengadu pada anak. Hal yang membuat saya kembali ingin menangis.

“Anak-anak Mami mungkin belum kaya, tapi Mami nggak perlu pinjam ke orang lain untuk urusan ini itu,”
tegur saya suatu hari.